Sejumlah bank besar di Indonesia mulai menurunkan bunga floating KPR pada pertengahan 2025. Kebijakan ini menjadi angin segar bagi pasar properti yang sempat melambat akibat ketidakpastian ekonomi dan suku bunga acuan yang tinggi di tahun sebelumnya. Dengan bunga mengambang yang lebih rendah, cicilan bulanan menjadi lebih ringan, sehingga daya beli masyarakat meningkat.
Bagi konsumen, penurunan suku bunga floating membuka peluang untuk mendapatkan cicilan yang lebih terjangkau setelah periode bunga tetap (fixed rate) berakhir. Bagi investor dan pengembang, kebijakan ini mendorong peningkatan transaksi properti, terutama pada segmen rumah tapak, apartemen, dan properti komersial yang sebelumnya mengalami penurunan penjualan.
Bunga floating KPR adalah suku bunga pinjaman rumah yang nilainya bisa naik atau turun mengikuti pergerakan suku bunga acuan bank atau Bank Indonesia (BI Rate). Umumnya, KPR memiliki periode bunga tetap di awal (misalnya 1–5 tahun), lalu berubah menjadi bunga mengambang setelah periode tersebut.
Ketika bank menurunkan suku bunga floating, cicilan bulanan otomatis lebih ringan. Hal ini memberi keuntungan besar bagi nasabah yang sudah melewati periode fixed dan masuk ke tahap bunga mengambang.
Meski bisa turun, bunga floating juga bisa naik sewaktu-waktu. Karena itu, calon debitur biasanya mempertimbangkan kondisi pasar dan tren suku bunga sebelum memilih skema KPR dengan porsi bunga mengambang.
Kebijakan penurunan bunga floating KPR mendorong optimisme di sektor properti. Generasi milenial dan Gen Z, yang menjadi target utama pasar perumahan, kini lebih percaya diri mengambil KPR karena biaya cicilan terasa lebih ringan.
Dengan cicilan yang lebih terjangkau, banyak pembeli rumah pertama berani mengambil keputusan untuk membeli properti. Kawasan penyangga kota besar menjadi tujuan utama karena harganya relatif lebih terjangkau dibanding pusat kota.